Sunday, May 15, 2016

S o s o k :

V. Titik Rohayati, Wanita Tetaplah Wanita Dengan Segala Kemampuan Dan Kewajibannya



Buat bangsa Indonesia bulan April identik dengan Hari Kartini. Setiap memasuki bulan ini, kita akan teringat dengan Raden Adjeng Kartini. Kehidupan kaum perempuan yang tertindas pada masa itu mendorong R.A. Kartini untuk melakukan perubahan. Pikirannya terbuka setelah dia banyak berkorespondensi dengan para sahabat wanitanya yang berasal dari Eropa. Salah satu sahabat yang paling mendukung perjuangannya adalah Rosa Abendanon.

Pada edisi April ini, Majalah Dialog menampilkan seorang ibu rumah tangga, berprofesi sebagai guru, dan juga pendamping suami yang menjabat sebagai Kepala Dinas Pertanian  dan Peternakan Kabupaten Ketapang. Dia adalah Dra. Valentina Titik Rohayati, wanita kelahiran Lampung, 1 Februari 1969. Berkaitan dengan Hari Kartini, kami akan memperbincangkan seputar Kartini dan emansipasi wanita di zaman globalisasi ini.


Saat ditemui  di sela-sela kesibukannya sebagai pengajar di SMA PL Santo Yohanes, beliau berkisah kilas balik tentang RA Kartini, “Ibu Raden Ajeng Kartini lahir di Jepara 21 April 1879 yang kemudian meninggal di Rembang 17 September 1904. Sebelum Raden Ajeng Kartini ada, derajat kaum wanita direndahkan dibanding kaum laki-laki. Pada zamannya wanita dilarang menuntut ilmu, tidak boleh bekerja apalagi menjadi pemimpin . Raden Ajeng Kartini adalah seorang pahlawan wanita yang memperjungkan hak asasi bagi para wanita. Beliau telah membawa perubahan bagi kaum wanita di Indonesia. Raden Ajeng Kartini memperjuangkan persamaan hak dan kewajiban antara wanita dengan pria dan atas perjuangannya tersebut kaum wanita Indonesia saat ini dapat meraih kebebasan dan memiliki hak serta derajatnya dengan kaum pria.”



Nama ibu Kartini sudah tidak asing lagi, bahkan dalam kehidupan sekarang ini telah terpatri suatu sikap,  khususnya sikap para ibu, sikap para remaja putri yang mencerminkan cita-cita luhur Ibu Kartini . Sebagai wanita yang tentunya  tidak dapat meninggalkan kodratnya sebagai perempuan. Raden Ajeng Kartini dikenal sebagai pendobrak adat pingitan, sebagai tokoh emansipasi wanita dan sebagai tonggak kesetaraan gender serta sebagai pelopor kebangkitan wanita Indonesia. Kepeloporannya wajib kita apresiasi dan aktualisasikan. Ibu Kartini adalah juga model perempuan yang mendobrak kebekuan tradisi dan peradaban.

Lebih lanjut ibu tiga anak ini menambahkan, bahwa tradisi dipandang sebagai sesuatu yang tidak wajar lagi melainkan sebagai hambatan menuju kepada kemajuan. Lambat laun kesadaranpun tumbuh untuk mencapai kemajuan yang memerlukan liberalisme dari belenggu adat istiadat kuno. Pikiran-pikirannya jauh melampaui zamannya. Buah pikirannya menjadi pembaharu zaman patrialisme dan penindasan perempuan. Ibu Kartini telah menjadi inspirasi tidak hanya bagi kaum perempuan namun juga bagi bangsa Indonesia karena lewat beberapa suratnya yang di kenal dengan “ Habis Gelap Terbitlah Terang “. Ibu Kartini tidak hanya sebagai seorang Srikandi Indonesia yang menentang adat istiadat di zamannya tetapi juga senantiasa menentang kolonialisme yang dilancarkan oleh rezim imperialisme dan kolonialisme Belanda.

“Persepsi Ibu Kartini tidak hanya dalam perbedaan tingkat maupun kehidupan pribumi dengan Belanda dan Eropa saja melainkan juga mengenai keterbelakangan kolotnya kehidupan tradisional masyarakat pada saat itu. Ibu Kartini mulai sadar akan perbedaan kualitas hidup antara gaya Barat yang serba bebas dengan pola kehidupan tradisional yang penuh dengan keterikatan,” kata lulusan S1 Matematika STKIP Lampung.


Tulisan Raden Ajeng Kartini “ Habis Gelap Terbitlah Terang “ justru mempertanyakan, mempersoalkan dan menyangsikan segala sesuatu yang berasal dari tradisi. Kesempatan bersekolah dan bergaul dengan anak-anak Belanda membuka mata dan membangkitkan kesadarannya akan dunia luar serta nilai-nilai dan gaya hidupnya yang berbeda dari apa yang dihayatinya. Maka timbulah kejutan kebudayaan baginya, yaitu kesadaran akan situasi yang serba terbelakang dari kedudukan rendah wanita.

”Raden Ajeng Kartini telah tiada, rohnya telah bersemayam di alam keabadian. Meski demikian, akan terus dikenal sebagai sosok perempuan pejuang yang tak henti-hentinya membuka mata kaumnya dari ketertindasan dan keterbelakangan. Nilai-nilai kesetaraan menjadi mainstream dan basis perjuangannya. Ibu Kartini tidak segan-segan menggugat ketidakadilan di tengah kultur feodalistik. Derajat aristokrat dan kebangsawanan yang mengalir didalam tubuhnya rela beliau “gadaikan” demi mengangkat harkat dan martabat serta kehormatan kaumnya ditengah-tengah hegemoni kekuasaan kaum lelaki,” ujar Titik.

Tidaklah terlalu berlebihan kiranya apabila wanita saat ini telah dapat berbicara sejajar dengan kaum pria. Karena secara normatif sudah tidak ada lagi larangan bagi kaum wanita untuk memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya. Sebuah kesepakatan yang sama diberikan untuk kaum pria. Tetapi tidak semua hal wanita dapat disejajarkan dengan kaum pria. Karena perputaran zaman tidak akan pernah membuat wanita menyamai laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala kemampuan dan kewajibannya, yang berubah adalah wanita harus mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang lebih baik, wanita harus sehat jasmani dan rohani serta berbudi pekerti luhur. Yang beliau hargai adalah semangat untuk mewarisi ideologi dan gerakan beliau sekaligus menjadikan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sebagai musuh utama.

Sayangnya masih banyak wanita Indonesia yang menafsirkan emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan oleh R.A. Kartini secara keliru. Kebebasan dan persamaan hak sering disalahartikan. Sebagian wanita yang sudah berumah tangga justru mengabaikan  kodratnya sendiri, karena terjebak dengan pekerjaan dan karir sehingga melupakan perannya sebagai ibu bagi anak-anaknya dan sebagai istri dari suaminya.

“Kalau kita menyimak sejarah R.A. Kartini, tentu maksud persamaan hak yang dituntutnya bukan tanpa batas. Artinya, harus ada ruang bagi wanita untuk melakukan perannya sebagai istri dari suaminya dan ibu dari anak-anaknya, tidak semata-mata mementingkan pekerjaan dan karirnya sendiri. Disadari atau tidak, adanya kebebasan kaum wanita yang beraktivitas diluar rumah, terutama bagi wanita yang sudah berumah tangga, jika tidak disikapi secara  bijaksana  bisa melupakan perannya dalam mendidik anak.” 


Ibu Kartini mungkin akan tersenyum melihat kaum perempuan Indonesia telah banyak yang mengenyam pendidikan serta telah banyak yang meraih prestasi di berbagai bidang. Gerakan emansipasi wanita tidak terlepas dari peran Raden Ajeng Kartini. Dari kehidupan Raden Ajeng Kartini kita dapat meneladani 3 (tiga) poin utama, yaitu : 1/kreatifitas, karena pada zamannya seorang muda pribumi hanya segelintir yang menulis, namun Ibu Kartini menulis surat yang ditujukan kepada teman-temannya berbeda benua, 2/kepedulian, karena pemikiran Kartini yang sangat kritis akan tradisi yang terlalu mengekang kaum wanita untuk mendapatkan pendidikan yang setara dengan kaum pria, 3/keuletan belajar, ibu Kartini mampu menguasai Bahasa Belanda dan Bahasa Perancis. Semoga dalam peringatan hari Kartini dapat membuka hati dan pikiran kita untuk menjadi wanita-wanita yang selalu menjadi pelopor kebaikan di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita.(wahyudi/Edisi 2 April 2015)




No comments:

Post a Comment